Sabtu, 22 Januari 2011

Kata-kata Mutiara cinta


perpisahan termanis
Dulu aku datang dengan segudang asa kini aku harus pamit untuk menjemput impian Tak ada yang abadi di dunia Segalanya mesti berubah Terima kasih sudah menjadi teman baiku Terima kasih sudah menjadi sobat karibku Terima kasih sudah menjadi bagian dari jalan hidupku Maafkan semua kesalahanku Maafkan segala kekuranganku Tak ada yang mesti ditangisi Karena aku .
perasaanku
Aku tak selalu baik dan juga tak selalu benar, Sekali waktu aku begitu baik dan juga kadang sangat bodo. Aku hanya manusia biasa seperti yang lain, punya asa yang kadang-kadang tidak bisa diterima akal. Aku bersyukur bisa mengalami ini semua, perjalanan jiwa menemukan jati diri, aku senang bisa 
punya rasa syukur atas nikmat yng Tuhan .

cinta itu ada


Cinta seperti angin … dirasakan ato tidak dia memberikan kehidupan kepada semua mahluk di bumi ini. Seperti angin Cinta tidak pernah senang untuk dirasakan dan tidak kecewa bila diabaikan. Dia ikhlas dan hanya memberi kita kehidupan. Cinta Seperti Air … setia mengalir melewati semua rintangan dan celah kehidupan. Dia tak pernah mengeluh apa yang datang .


Jumat, 21 Januari 2011

ilmu Munasabah al-Quran


Menurut pengertian bahasa, munasabah berarti المشاكله (saling ada kesepakatan) dan المقاربة (saling berdekatan). (al-Suyuthy, al-Itqan II, 108)
Menurut al-Syuyuthi, sumber pengertian ini berasal dari ayat-ayat al-Quran sendiri atau lainnya. Karena maksudnya adalah keterikatan maknanya, seperti segi ‘am dan khash, atau aqly dan khayali, dan sebagainya, macam-macam hubungan atau al-talaazum al-zhihny (kemestian hubungan dengan ingatan), seperti sebab-musabab, ilal-ma’lul, dan dua padanan atau dua yang berlawanan lainnya. Sehingga hubungan antara kalimat-kalimat itu saling berkaitan yang menyebabkan kuat maknanya, seperti bangunan yang kokoh dan serasi.
Kalau al-Suyuthi menganggap hubungan yang dimaksud dalam pengertian munasabah dengan bentuk bangunan kokoh, secara langsung atau pun tidak, hal tersebut menunjukkan bahwa bagian-bagiannya saling menunjukkan satu sama lain, sekalipun berbeda-beda (seperti: tiang, atap, lantai, pondamen, dan sebagainya), tapi bermakna atau berguna.

Penyusun kamus al-Munjid mengatakan, bahwa munasabah berarti musyarakah fi al-Nasab (berkaitan pada keturunan), dan berarti pula hubungan kerabat. Al-Tanasub berarti al-tamatsul dan al-tasyaku. Selanjutnya, Louis Ma’luf mengatakan, bahwa al-nisbah dan al-nusbah selain berkerabat, secara istilah, berarti iqaa al-ta’aluq wa al-irtibath bain al-syaiain (adanya hubungan dan ikatan antara dua perkara) atau al-tamatsul bain alaqat al-asy_ya wa al-kaamiyat (keserupaan antara hubungan beberapa sesuatu atau nilai-nilai).(Yusu’y Peter Louis Ma’luf, al-Munjid, Mathba’ al-Kathulikiyah, Beirut, cet. XVIII, hlm. 803)

Al-Zarkasyi menjelaskan, bahwa al-munasabah menurut pengertian bahasa adalah al-muqaarabah (saling berdekatan), seperti kata-kata fulan yunasib fulan. Begitu pula al-nasib artinya yang dekat dan berhubungan seperti dua orang bersaudara. Secara lahiriah ada kemiripan rupa, walaupun tidak sama. Dan secara batin terdapat hubungan darah.

Al-munasabah dalam illat ilmu qiyas (analogi) berarti sifat yang berdekatan dalam hukum. Karena apabila pendekatan antara yang dikiaskan dengan tempat mengiaskan berhasil pada saat adanya sifat itu, maka hukum terdapat pula pada tempat yang dikiaskan. (Zarkasyi, al-Burhan I, Op. Cit.,hlm. 35)

Jadi, kalau semua pendapat di atas diteliti, ternyata arti munasabah itu ialah hubungan sesuatu dengan yang lain; sekalipun berbeda, namun terdapat keserasian. Menurut al-Biqa’i munasabah al-Qur-an ialah "ilmu yang diketahui daripadanya faktor-faktor penyebab terbit susunan bagian-bagian al-Quran".(al-Biqa’i, Op. Cit.,hlm. 6)

Sedangkan sifat munasabah itu adalah “Munasabah itu adalah suatu urusan yang dapat dipahami. Apabila dia dikemukakan kepada akal, niscaya akal menerimanya”. (Shidiqy, Op. Cit.,hlm.48; Zarkasyi, Ibid)

Berdasarkan definisi dan sifat ini, munasabah adalah usaha pemikiran dalam menggali rahasia hubungan antara ayat atau surat dalam al-Quran yang dapat diterima oleh akal.

Sejarah Kemunculan Ilmu Munasabah
Susunan ayat-ayat al-Quran berdasarkan sejarah turunnya kepada Nabi berbeda dengan susunan ayat-ayat al-Quran dalam mushhaf Utsmani. Ayat yang mula-mula turun berdasarkan sejarah adalah lima ayat awal surat al-’Alaq, sedangkan berdasarkan susunan surat mushhaf Utsmani, ayat-ayat yang pertama adalah ayat-ayat yang termaktub dalam surat al-Fatihah.
Sedangkan ayat yang terakhir turun adalah ayat 281 surat al-Baqarah, namun menurut yang tercatat dalam mushhaf justru surat al-Nas. Peralihan susunan dari tartib nuzul kepada tartib mushhaf adalah suatu rahasia yang perlu diperhatikan. Proses peralihan itu memakan waktu 22 tahun lebih. (Rafi’y Musthafa Shadiq, al-I’jaz al-Quran wa al-Balaghah al-Nabawiyyah, Dar al-Kitab al-’Arabiyah, Beirut, 1973, hlm. 34; Zarqany, Op. Cit.,hlm. 44)
Dan usaha ini berakhir pada kajian munasabah. Oleh karena itu, sejarah munasabah tidak dapat dilepaskan dari sejarah awal turunnya ayat pertama.
Dalam pada itu, proses peralihan ini adalah turunnya ayat-ayat al-Quran secara berangsur-angsur. Fakta sejarah proses ini dapat dilihat dari berbagai segi, antara lain adalah sebagai berikut.

1. Ayat yang mula-mula turun hanya lima ayat awal surat al-’Alaq, disusul beberapa ayat pada permulaan surat al-Mudatsir, dan seterusnya. Hal ini memungkinkan, bahwa ayat-ayat al-Quran itu tidak diturunkan sekaligus.

2. Dalam ulum al-Quran sendiri, adanya ayat-ayat yang mula-mula turun dan ayat-ayat yang terakhir turun.

3. Dalam ulum al-Quran itu turun dengan kata-kata تنزيل . (Muqaddaasy, faidh Allah alHasany, al-Fath al-rahman li Thalb ayat al-Quran, Mathba’ah Ahliyah, Beirut, 132H. hlm. 430)
Ini berarti al-Quran turun (dengan wajan sharfتفعيل ) li al-dalalah ‘ala al-taksir.(Ma’sum ibn Ali Muhammad, al-Amtsal al-Tashrifiyyah, Salim Nabban, Surabaya, t.t. hlm. 12; Razy, Muhammad Fakhr al-Din ibn Dhiyah’ al-Din Umar, al-tafsir al-Kabir, Dar, al-Fikr, Beirut, 1985, hlm. 127)
Dengan demikian, al-Quran turun kepada nabi Muhammad dengan berulang kali dan sebagian demi sebagian.

4. Firman Allah:
وقرآنا فرقناه لتقرأه على الناس على مكث ونزلناه تنزيلا (الإسراء: 106)
Artinya: “Dan al-Quran itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur, agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian”.

5. Firman Allah:
وقال الذين كفروا لولا نزل عليه القرآن جملة واحدة كذلك لنثبت به فؤادك ورتلناه ترتيلا (الفرقان: 32)
“Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar) kelompok demi kelompok."

6.Hadits riwayat al-Bukhary dari ‘Aisyah ra., ia berkata:
“Bahwasanya yang mula-mula turun dari al-Quran ialah surat yang termasuk kelompok mufashshal yang di dalamnya menyebut tentang surga dan neraka, sehingga setelah manusia kembali masuk Islam, turunlah tentang yang halal dan haram. Dan seandainya yang mula-mula turun itu: ‘janganlah kamu minum khamr, niscaya mereka mengatakan: ‘kami tidak meninggalkan khamar selamanya’, jika yang mula-mula turun itu: ‘janganlah kamu berzina’. Pastilah mereka berkata: ‘kami tidak meninggalkan zina’. (Bukhari, Muhammad ibn Isma’il al, Shahih al-Bukhary, III, al-Ma’arif, Bandung, t.t. hlm. 227)
Hadits di atas menerangkan turunnya ayat-ayat al-Quran yang merupakan gambaran adanya kelompok Makiyah dan Madaniyah. Hal itu jelas dari masalah surat mufashshal atau surat-surat yang pendek sebagai tanda surat Makiyah. Sebaliknya, disebutkan tentang larangan minum khamr dan berzina merupakan salah satu tanda surat-surat Madaniyah. Dari urusan kelompok Makiyyah atau ayat-ayat yang turun sebelum hijrah Nabi, kemudian disusul, ayat-ayat Madaniyah, maka hal itu merupakan rentetan turun ayat yang tidak sekaligus.

7. Dalam ulum al-Quran, dikenal ilm al-nasikh wa al-mansukh. Ilmu ini menjelaskan tentang pendapat ulama bahwa di antara ayat-ayat al-Quran terdapat ayat yang menasikh atau diganti hukumnya. Kalau ada hukum yang diganti, maka ada hukum penggantinya. Dalam hukum pengganti itu tentu ayat-ayat tersebut tidak serentak turunnya bersama-sama dengan ayat yang digantikannya.

Sebagaimana diketahui, al-Quran adalah kitab pedoman hidup yang harus sampai kepada manusia. Maka bagi Nabi Saw, sebagai pembawa ayat-ayat al-Quran, tidak ada tugas lain kecuali berdakwah. Target dakwah harus berhasil. Oleh sebab itu, agar dakwah itu dapat diterima dengan baik, maka ia harus memberikan materi bimbingan secara berangsur-angsur. Bagaimanapun, kalau diberikan secara serentak, tentu hal itu merupakan beban yang berat bagi manusia.

Jadi jelas, ayat-ayat al-Quran turun sedikit demi sedikit merupakan metode dakwah untuk memperkuat kehadiran agama baru itu di kalangan suatu bangsa yang selama ini kosong dari ajaran agama. Kalau turunnya ayat-ayat al-Quran dengan berangsur-angsur merupakan kebtuhan dakwah, maka tentunya banyak unsur-unsur dakwah yang berkaitan dengan metode itu, antara lain da’i, dalam hal ini Nabi Muhammad saw. dan para shahabat, manusia sebagai objek dakwah, dan materi dakwah itu sendiri.

Al-Quran, menurut metode Nuzul, adalah metode dakwah yang dapat memperkuat agama baru di kalangan bangsa yang tidak beragama dengan benar. Dengan metode nuzul pendidikan umat dapat disempurnakan.
Selain itu, masing-masing periode, Makiyyah dan Madaniyyah terbagi ke dalam tiga tahap. Dengan demikian, tartib nuzul ayat-ayat itu terdiri dari enam kelompok, dan mempunyai ciri-ciri tersendiri sesuai dengan kebutuhan dakwah Islam pada waktu itu. Secara terperinci kelompok-kelompok tersebut adalah sebagai berikut.
1. Pada waktu Makkiyah tahap pertama, umumnya terdiri dari ayat-ayat yang pendek atau ringkas. Selain itu, dalam surat-surat kelompok ini, banyak terdapat sumpah Tuhan dengan menyebut bagian dari alam. Juga terdapat lafazh-lapazh insya_iyyah, seperti: amr, nahy, istifham, tamanny dan tarajjy. Semuanya bernada panas dan bersanjak; keras dan menakutkan. Di antara surat-surat itu adalah: al-’Alaq, al-Muddatsir, al-Takwir, al-A’la, al-Lail, al-Insyirah, al-’Adiyat, al-Takatsur, dan al-Najm.
2. Pada surat-surat Makiyyah tahap kedua, isinya selain senada dengan isi tahap pertama, juga dalam rangka dakwah disebut tentang neraka, kebesaran Tuhan, wahyu, hari kiamat, ba’ats masyir, pahala, siksa, surga, neraka, dan nikmat di alam ini. Bentuk uslubnya merupakan kelanjutan tahap pertama, selain pendek ayat-ayatnya, juga mengandung perumpamaan dan perbandingan. Akan tetapi, sebagian surat dan ayatnya sudah ada yang agak panjang. Dalam surat-suratnya, terdapat naqmah, dan pada sebagian ayat-ayatnya disudahi dengan nama-nama Allah. Surat-surat yang termasuk ke dalam fase ini adalah: ‘Abasa, al-Tin, al-Qari’ah, al-Qiyamah, al-Mursalat, al-Balad, al-Hijr.
3. Pada surat Makiyyah tahap ketiga, kebanyakan surat-surat dan ayat-ayatnya panjang-panjang, walaupun panjangnya surat lebih menonjol dari panjangnya ayat. Akan tetapi, kalau dibandingkan dengan ayat-ayat dalam surat Madaniyyah, hal itu belum berarti apa-apa. Selain itu, ciri-ciri suratnya diawali dengan huruf-huruf potong (muqatha'ah), khithab dihadapkan kepada segenap manusia, bukan kepada penduduk Makkah saja. Di dalamnya, manusia diperingatkan supaya taat kepada Allah dan Rasulnya sebagai perintis jalan hukum yang akan dijelaskan di Madinah. Di dalamnya, manusia diajak untuk berbuat ihsan dan beramal shalih untuk memperoleh surga dan terhindar dari neraka. Selain itu, diterangkan pula urusan-urusan ghaib yang berhubungan dengan zat Allah dan sifat-sifatnya atau dengan malaikat, jin, atau dengan para nabi dan wali, atau dengan mukjizat dan keramat. Di situ, ada penjelasan mengenai hak pemberi hidayah atau dhalalah hanya Allah, di samping memperhatikan batas-batas kemerdekaan dan ikhtiar yang telah diberikan kepada manusia. Di situ pun diceritakan kisah para Nabi, khususnya yang termasuk ke dalam ulu al-'azmi, seperti Nabi Ibrahim. Surat-surat yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah al-Shaffat, al-Dukhan, al-Dzariat, al-Kahf, Ibrahim, dan al-Sajdah.
4. Adapun surat-surat Madaniyah tahap pertama meliputi: al-Baqarah, al-Anfal, Ali Imran, al-Ahzab, al-Mumtahanah, al-Nisa, dan al-Hadid.
5. Surat-surat Madaniyah tahap kedua terdiri dari surat-surat seperti: Muhammad, al-Thalaq, al-Hasyr, al-Nur, al-Munafiqun, al-Mujadalah, dan al-Hujurat.
6. Surat-surat Madaniyah tahap ketiga mencakup: al-Tahrim, al-Jumu’ah, al-Maidah,al-Taubah, dan al-Nashr.

Sebagai ringkasan dari tanda-tanda surat-surat Madaniyah, maka yang paling menonjol adalah berbagai macam hakikat syari’ah, baik mengenai ibadah, mu’amalah, haram, halal, keluarga, perkawinan, undang-undang kenegaraan, politik, ekonomi, perang dan damai, pertempuran dan peperangan, dan sebagainya. Hal-hal seperti itu disebut berulang kali dalam Madaniyah dengan ushlub yang berbeda, sehingga ungkapannya tidak membosankan pembaca dan pendengarnya.

Dari urutan tahap-tahap itu, maka berangsur-angsurnya turun ayat merupakan kebijaksanaan tersendiri agar dakwah Islamiyah berhasil. Hal itu dapat dilihat dari lahiriyah nada bentuk ayat-ayat yang diturunkan dan materi kandungan ayat yang sesuai dengan situasi. Apalagi kalau dilihat dari sejarah turun ayat, yang dikenal dengan istilah sabab al-nuzul, yang tidak lain kondisi dan situasi pada saat ayat turun. Ini tidak boleh tidak menunjukkan berangsur-angsur turun ayat dan situasi yang membutuhkan ayat tertentu.

Sebagaimana diketahui, al-Quran yang ada sekarang tersusun dalam mushhaf, dan susunan mushhaf ini tidak sama dengan tertib urutan turunnya di masa Rasul. Perubahan dari tartib nuzuli kepada tartib mushhafi merupakan suatu kenyataan yang tidak terhindarkan. Oleh karena kenyataan itulah, perlu diteliti maksud dan tujuannya.

Diantara bukti perubahan tertib itu adalah sebagai berikut.
1. Tertib mushhaf dimulai dengan surat al-Fatihah, al-Baqarah, Ali imran, al-Nisa, al-Maidah, al-An’am, al-‘Araf, al-Anfal, al-Taubah, dan seterusnya. Padahal menurut tafsir Jalalain, urutannya bermula dari surat al-’Alaq, al-Qalam, al-Muzzammil, al-Mudatsir, al-Fatihah, al-Masad, al-Takwir, al-A'la, al-Lail, dan seterusnya.
2. Di antara 86 surat Makiyah, terdapat 35 surat yang masing-masing mengandung beberapa ayat Madaniyah; dan di antara 28 surat Madaniyah, terdapat 6 surat masing-masing mengandung ayat Makiyah.(Mahally, al-Imam Jalal al-Din al, et.al., Tafsir al-Quran al-’Azhim, al-Ma’arif, Bandung, t.t. setiap awal surat)

Selanjutnya, dalam tafsir Jalalain disebutkan, surat-surat yang ada perkecualian itu: surat al-An’am, al-A'raf, Yunus, Hud, Yusuf, Ibrahim, al-Hijr, al-Nahl, al-Isra, al-Kahf, Maryam, Thaha, al-Furqan, al-Syu’ara, al-Qashash, al-Ankabut, al-Ruum, Luqman, al-Sajdah, Saba’, Yasin, al-Zumar, Ghafir, al-Syura, al-Zukhruf, al-Jatsiyat, al-Ahqaf, Qaf, al-Najm, al-Qamar, al-Waqi’ah, al-Qalam, al-Muzzammil, Al-Mursalat, al-Ma’un, al-Baqarah, al-Maidah, al-Anfal, al-Taubah, al-Hajj, dan Muhammad.

Dengan demikian, penurunan ayat-ayat al-Quran secara berangsur-angsur itu terbukti dengan adanya beberapa perkecualian seperti di atas. Bahkan suatu ayat kadang-kadang turun sesudah suratnya turun beberapa tahun yang cukup panjang, misalnya surat al-An’am adalah Makiyah, tetapi ayat nomor 20, 23, 91, 92, 114, 151, 152, dan 153 turun sesudah hijrah Nabi ke Madinah; dan karenanya termasuk Madaniyah. Surat al-Hajj yang Madaniyah itu, dalam ayat ke 52 sampai dengan 55 turun sebelum hijrah, atau Makiyah.(Suyuthy, al-Itqan, I, Op. Cit.,hlm. 13-15)

Walaupun demikian, ayat-ayat yang turun kemudian dari surat-suratnya ditempatkan pada tempatnya sekarang dalam mushhaf, ternyata mengandung arti yang utuh dan menyatu dengan ayat-ayat di sampingnya. Bahkan tidak terjadi kecanggungan makna antara ayat-ayat itu dari segi susunan bahasanya.

Di antara dalil yang dianggap memperkuat berupa sunnah secara ijma’ adalah Rasul meletakkan ayat-ayat dengan sabdanya kepada para penulis wahyu:
ضعوا هذا في السورة التي يذكر فيها كذا

“Letakkan oleh kalian ayat ini dalam surat yang disebut padanya begini”.(Asqalany, Loc. Cit)

Contohnya seperti yang terdapat dalam surat al-Zumar. Surat ini turun di Makkah, sebelum Hijrah, kecuali:

قل يا عبادي الذين أسرفوا على أنفسهم لا تقنطوا من رحمة الله إن الله يغفر الذنوب جميعا إنه هو الغفور الرحيم وأنيبوا إلى ربكم وأسلموا له من قبل أن يأتيكم العذاب ثم لا تنصرون واتبعوا أحسن ما أنزل إليكم من ربكم من قبل أن يأتيكم العذاب بغتة وأنتم لا تشعرون

“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang adzab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang adzab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya".

Ayat-ayat ini turun pada periode Makkah, lalu diletakkan di tempatnya dalam susunan mushhaf sekarang pada suratnya yang termasuk kategori Madaniyyah, dan ternyata ayat ini serasi dengan ayat sebelumnya maupun dengan ayat sesudahnya. Keserasian itu sangat menakjubkan, yang tidak mungkin terjadi, kecuali dengan tauqifi dari Ilahi, sehingga letak ayat ini sebagai berikut.

أولم يعلموا أن الله يبسط الرزق لمن يشاء ويقدر إن في ذلك لآيات لقوم يؤمنون قل يا عبادي الذين أسرفوا... وأنتم لا تشعرون أن تقول نفس يا حسرتى على ما فرطت في جنب الله وإن كنت لمن الساخرين

Di sini dapat dilihat, bahwa melimpahnya rezeki dan keterbatasannya, dapat mendorong kepada melampaui batas terhadap diri. Pada situasi lapang bisa menimbulkan sifat boros dan berbuat dosa; dan pada kondisi kekurangan dapat menimbulkan permusuhan untuk berebut harta. Maka rahmat Ilahi menuntut dibukanya pintu taubat bagi orang yang melampaui batas dan mengancam mereka yang menangguhkan taubat, karena dikhawatirkan datangnya azab secara mendadak, sehingga hal itu membuat orang berdosa itu menyesal karena lengahnya dan menganggap enteng perintah Tuhan.
Hal di atas adalah saksi yang sangat jelas akan keagungan tertib Qurani.

Contoh lain adalah surat al-Hijr yang Makiyyah itu mengandung satu ayat Madaniyah (Mahally, Op. Cit.,hlm. 211) yang berbunyi:

ولقد آتيناك سبعا من المثاني والقرآن العظيم (الحجر: 87)

“Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al Quran yang agung".
Maka kalau dilihat susunan bersama ayat sebelum dan sesudahnya menjadi:

وما خلقنا السماوات والأرض وما بينهما إلا بالحق وإن الساعة لآتية فاصفح الصفح الجميل إن ربك هو الخلاق العليم ولقد آتيناك سبعا من المثاني والقرآن العظيم لا تمدن عينيك إلى ما متعنا به أزواجا منهم ولا تحزن عليهم واخفض جناحك للمؤمنين (الحجر: 85-88)

“Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan benar. Dan sesungguhnya saat (kiamat) itu pasti akan datang, maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah Yang Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui. Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al-Quran yang agung. Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman".

Walaupun ayat 87 itu termasuk ayat Madaniyah yang letaknya diapit antara dua ayat Makiyah, tetapi rangkaian ketiga ayat itu mempunyai makna yang serasi. Karena di dalamnya mengandung unsur-unsur ajaran sebagai berikut.
1. Penciptaan langit dan bumi serta apa-apa yang ada di antara keduanya dengan kebenaran sebagai media keimanan kepada Tuhan.
2. Kepastian datangnya peristiwa kiamat merupakan peringatan bagi orang yang beriman untuk hidup waspada.
3. Untuk kewaspadaan itu, Allah memberikan tujuh ayat yang berulang-ulang dibaca, yakni al-Fatihah (Shabuny, Muhammad ‘Ali al, Shafwat al-Tafasir II, Dar al-Quran al-Karim, Beirut, 1081, hlm. 115), merupakan kandungan pokok al-Quran yang agung sebagai pedoman hidup menuju kehidupan yang abadi.
4. Agar dapat melaksanakan pedoman hidup al-Quran itu, Allah memperingatkan tantagannya berupa rangsangan duniawi. Oleh karena itu, dalam hidup dengan keyakinan di atas, jangan bersedih dan harus hormat kepada orang-orang beriman.
Melihat hubungan-hubungan ini, maka ternyata ayat yang berada tertib nuzulnya dengan tertib mushhafnya mempunyai hubungan makna yang indah sekali.

Jadi, dua contoh dan penjelasan di atas, sebagai bukti perubahan susunan al-Quran dari tertib nuzuli kepada tertib mushhafi, mengandung tujuan-tujuan tertentu. Sabda Nabi Saw (Asqalany, Loc. Cit),

ضعوا هذا في السورة التي يذكر فيها كذا

Sebagai perintah Nabi kepada pencatat wahyu mengandung maksud yag lebih tertentu dan baik.

Adapun yang dimaksud dengan tertib mushhafi ialah susunan urutan ayat-ayat dan surat-surat al-Quran sebagaimana yang tercetak sekarang, yang terkenal dengan standar mushhaf Usmani. Mushhaf Utsmani itu adalah hasil pengumpulan ayat dan pembukuan al-Quran yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit. Jumlah semuanya lima buah. Empat di antaranya dikirim ke Mekkah, Syiria, Basyrah, dan Kufah. Kemudian mushhaf itu disalin oleh umat Islam pada masa berikutnya sampai sekarang. Satu buah ditinggalkan di Madinah untuk Utsman sendiri, dan itulah yang dinamai mushhaf al-Imam.

Selain itu, sejarah tertib mushhaf ini tidak lepas dari riwayat penulisan al-Quran pada masa Nabi, pengumpulan ayat-ayat al-Quran pada zaman pemerintahan Abu Bakar, dan pembukun al-Quran pada masa khalifah Utsman bin Affan.
Pada masa-masa 23 tahun akhir kehidupan Nabi, merupakan saat-saat nuzul al-Quran. Pada waktu itu, ayat-ayat al-Quran yang baru turun kepada Nabi saw., dicatat oleh penulis wahyu, dan yang terkenal di antaranya: Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Mu’awiyah.

Tertib mushhaf tersebut berhubungan erat dengan sejarah pengumpulan ayat al-Quran pada zaman pemerintahan Abu Bakar ra., dan pembukuan al-Quran pada masa pemerintahan Utsman bin Affan.

Sebagaimana tercatat di dalam sejarah Islam, pada awal pemerintahan Abu Bakar ra., terjadi penyimpangan-penyimpangan keagamaan. Segera setelah Nabi saw. wafat, banyak orang mengaku menjadi Nabi, orang-orang murtad, dan orang-orang yang tidak mau lagi membayar zakat seperti terjadi di Nejd. Hal ini dihadapi oleh Abu Bakar dengan operasi militer. Di antara gerakan-gerakan militer yang terkenal dan banyak menyita korban dari shahabat adalah perang Yamamah. Dalam peperangan ini, korban para shahabat di antaranya terdapat 70 orang shahabat penghafal al-Quran yang gugur. Bahkan, sebelum itu, di sumur Ma’unah telah pula gugur para shahabat penghafal al-Quran hampir sebanyak itu dalam suatu peperangan bersama-sama Nabi.

Dengan kejadian-kejadian itu, Umar bin Khathab ra. mengusulkan kepada khalifah Abu Bakar agar ayat-ayat al-Quran dikumpulkan. Pada mulanya, usul tersebut ditolak, karena merupakan perbuatan yang tidak diperbuat oleh Rasulullah.
Pada waktu berikutnya, ia mengusulkan hal yang sama untuk kedua kalinya, dan Abu Bakar tetap menolaknya. Setelah diusulkan untuk yang ketiga kalinya, barulah Abu Bakar menerima usul tersebut.

Memang, walaupun usaha itu tidak pernah dilakukan oleh Rasu-lullah, tetapi isyarat-isyarat dari Nabi sebenarnya sudah ada, seperti adanya ‘aradah (semacam general repetition) antara nabi dan Jibril yang disaksikan oleh beberapa shahabat. (Bukhary, III, Loc. Cit.,; Asqalany, X, Op. Cit.,hlm. 418)
Selain itu, usul Umar tadi sesuai dengan firman Allah, yang berulang kali menyebut al-Quran dengan al-Kitab. Di samping berarti al-Maktab (yang ditulis), hal itupun mengisyaratkan pengertian, bahwa ayat-ayat al-Quran akan dijadikan al-Kitab atau buku. Dalam ilmu balaghah, redaksi seperti ini menyebutkan yang terjadi dengan yang sudah terjadi, disebut I’tibar ma yakun dalam majaz mursal.

Setelah terbuka hati Abu bakar menerima usul itu, ia menugaskan Zaid bin Tsabit ra. Mengapa tugas ini jatuh kepada Zaid? Hal ini sebagaimana perkataan Abu bakar:
“Engkau benar-benar seorang pemuda yang cerdas. Kami tidak meragukan engkau, dan memang engkau menulis wahyu untuk Rasulullah, lalu engkau ikuti al-Quran seluruhnya". (Bukhary, III, Ibid., hlm. 225; Asqalany, X, ibid.,hlm. 387; Ibrary, Ibrahim,al- Tarikh al-Quran, Dar al-Qalam, Kairo, 1984, hlm. 87)

Alasan lain terpilihnya Zaid dalam tugas ini, menurut DR. Haikal, karena ia lebih mampu untuk karya seperti itu, jika dibandingkan dengan shahabat-shahabat lainnya. Karena kepemudaannya, ia kurang fanatik dengan ilmunya. Hal ini mendorongnya untuk mau mendengar pendapat para tokoh sahabat yang termasuk qurra dan huffazh. Hal itu telah mendorongnya pula untuk lebih teliti dalam mengumpulkan ayat-ayat: tidak mengutamakan hafalannya sendiri, sekalipun ada riwayat mutawatir bahwa ia hadir pada saat ardhah akhirah (general repetisi akhir) al-Quran ketika Rasullullah membaca al-Quran di hadapan Jibril pada kedua kalinya di tahun kewafatan Nabi saw.. (Syatin, ‘abd al-Shabur al-Tarikh al-Quran, Dar al-Kitab al-’Araby, Kairo, 1986, hlm. 107; Shabuny, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Quran, alih bahasa Muha-mmad Chudhari-Umar dkk, al-Ma’arif, Bandung, 1984, hlm.89)

Tugas ini dirasakan berat oleh Zaid ibn Tsabit. Berkenaan dengan hal ini, ia pernah berkata, “Demi Allah, seandainya mereka menugasi aku memindahkan sebuah gunung di antara gunung-gunung itu, tidaklah lebih berat atasku dibanding dengan tugas yang mereka perintahkan kepadaku mengumpulkan al-Quran itu". (Bukhary, II, Loc. Cit.,; Asqalany, Op. Cit.,hlm. 397; Ibrary, Op. Cit.,hlm. 95)
Cara yang ditempuh oleh Zaid ialah sebagaimana yang diminta oleh Abu bakar, agar ia dibantu oleh Umar bin Khathab untuk duduk di pintu Mesjid. Apabila di antara orang-orang yang masuk mesjid itu minimal membawa dua orang saksi yang menyaksikan adanya satu ayat al-Quran, agar keduanya menuliskannya. Di samping itu, ia mengumpulkan ayat-ayat al-Quran dari daun, pelapah kurma, batu, tanah keras, tulang (onta atau kambing), dan dari sahabat-sahabat yang hafal al-Quran.
Dalam usaha mengumpulkan ayat-ayat al-Quran itu, Zaid bekerja amat teliti, sekalipun ia hapal al-Quran yang sangat penting bagi umat Islam, ia masih memandang perlu mencocokkan hafalan atau catatan sahabat-sahabat tadi dengan disaksikan oleh dua orang saksi.

Dengan cara itu, al-Quran seluruhnya telah ditulis oleh Zaid dalam lembaran-lembaran, dan diikatnya dengan benang, bersusun menurut susunan urut ayat-ayatnya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Rasul. Kemudian kumpulan ayat-ayat al-Quran ia serahkan kepada Abu Bakar. Kumpulan al-Quran ini tetap di tangan Abu Bakar sampai ia meninggal. Selanjutnya, dipindahkan ke rumah Umar bin al-Khatab, dan tetap ada di sana selama pemerintahannya. Sesudah ia meninggal dunia, kumpulan al-Quran itu dipindahkan ke rumah putri Umar bin al-Khatab, Hafsah, hingga masa pengkodifikasian di masa khalifah Utsman.

Kalau pengumpulan ayat-ayat al-Quran pada masa khalifah Abu Bakar didorong oleh banyaknya sahabat-sahabat Nabi (penghafal al-Quran) yang meninggal, maka pengkodifikasian al-Quran pada masa khalifah Utsman bin Affan didorong oleh adanya pertikaian tentang bacaan al-Quran di kalangan umat Islam. Orang yang mula-mula mengusulkan usaha ini ialah seorang shahabat Nabi yang bernama Huzaifah bin al-Yaman. Ia ikut dalam pertempuran menaklukkan Armenia dan Azerbeijan, di mana selama dalam perjalanan ia pernah mendengar pertikaian kaum muslimin tentang bacaan beberapa ayat al-Quran. Ia pernah mendengar perkataan seorang muslim kepada temannya, bahwa bacaannya lebih baik daripada bacaan temannya itu.
Berkenaan dengan hal itu, ketika ia pulang ke Madinah, ia mengatakan, “Aku telah melihat dalam perjalananku ini satu masalah. Jika orang-orang dibiarkan saja, pasti mereka akan berselisih mengenai al-Quran. Kemudian, mereka tidak akan berpegang selamanya kepada al-Quran". Said berkata, "Apakah gerangan itu?" Hudzaifah menjawab, "Aku telah melihat orang-orang penduduk Himsh mengira, bahwa bacaan mereka lebih baik daripada bacaan selain mereka". (Syahin, Op. Cit.,hlm. 111)

Segera sesudah ia sampai di Madinah, ia menemui Utsman bin Affan dan menceritakan peristiwa itu, sambil mengatakan, “Atasilah umat Islam ini, sebelum mereka berselisish mengenai al-Quran sebagaimana perselisihan orang-orang Yahudi dan Nasrani". (Bukhary, III, Loc. Cit.; Asqalany, X, Op. Cit.,hlm. 392; Mujahid, ibn, Kitab al-Sab’ah fi al-qiraat, Dar al-Ma’arif, Mesir, t.t., hlm. 7)
Usul Huzaifah ini diterima oleh Utsman, dan selanjutnya khalifah Utsman meminta Hafshah agar meminjamkan al-Quran yang ada padanya untuk disalin. Sebagai realisasinya, Utsman, sebagai khalifah, membentuk panitia kodifikasi al-Quran dengan Zaid bin Tsabit sebagai ketua. Anggota-anggotanya terdiri dari Abdullah bin al-Zubair, Said bin Ash, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisam. (Bukhary, III, Op. Cit.,hlm. 225-226; Asqalny, X, Op. Cit.,hlm. 383; Syahin, Op. Cit.,hlm. 114)

Tugas panitia ini adalah membukukan al-Quran, yakni menyalin dari lembaran-lembaran tersebut mejadi buku (kitab). Dalam pelaksanaan tugas ini, Utsman memberikan garis-garis pedoman sebagai berikut.
1. Agar panitia berpedoman kepada bacaan para sahabat yang hafal al-Quran; dan
2. Seandainya ada pertikaian antara mereka tentang bahasa atau bacaan, maka harus dituliskan menurut dialek mereka. (Bukhary, III, Op. Cit.,hlm. 226, Asqalany, Op. Cit.,hlm. 383)

Kemudian, panitia bekerja sesuai dengan apa yang digariskan khalifah. Sesudah tugas mereka selesai, lembaran-lembaran yang dipinjam dari Hafshah dikembalikan kepadanya. Dan al-Quran yang telah dibukukan itu dinamai mushhaf (Ibrary, Op. Cit.,hlm. 85). Oleh panitia ditulis sebanyak lima buah mushhaf. Empat di antaranya dikirim ke Mekah, Syiria, Bashrah, dan Kufah. (Departemen Agama RI., Op. Cit.,hlm. 33. menurut al-Ibrary, Jumlahnya tujuh mushaf, masing-masing dikirim ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Basrah, Kufah, dan untuk kota Madinah sendiri satu buah; Ibrary, Op. Cit.,hlm. 90; Menurut Syauqy Dhaif, semuanya delapan buah, selain untuk kota-kota tersebut, juga untuk Utsman pribadi satu buah, yang dikenal dengan mushhaf al-Imam; Mujahid, Op. Cit.,hlm. 7; Asqalany, Op. Cit.,hlm. 395)
Ia berpesan juga agar ditempat itu disalin pula dari masing-masing mushhaf dan satu buah ditinggalkan di Madinah untuk Utsman sendiri dan itulah yang dinamakan mushhaf al-Imam.

Berkenaan dengan nama mushhaf, Ibrary menjelaskan, bahwa mushhaf ialah lembaran-lembaran tertulis yang terletak antara dua kulit buku. (Ibrary, Loc. Cit)
Memang pemberian nama kumpulan ayat-ayat al-Quran itu dengan al-Mushhaf melalui proses pemikiran yang cukup panjang yang berakhir dengan kesepakatan para sahabat. Sesudah usai pembukuan al-Quran, Utsman mencari namanya; dan sebagaimana kita tahu, berakhir dengan nama ini.
Isi dan susunan mushhaf tersebut, yang terkenal dengan sebutan mushhaf Utsmani, adakah susunan yang ada sekarang. Tertib susunannya ditulis oleh panitia kodifikasi berdasarkan kumpulan al-Quran di masa Abu Bakar, dan yang terakhir berdasarkan al-ardhah terakhir antara Nabi dan Jibril yang dihadiri oleh Zaid bin Tsabit. Dalam hal ini al-Rafi’ menyatakan, “Tertib mushhaf Utsmani itu susunan Zaid bin Tsabit, selaku peserta ardhah akhirah, dan begitu pula tertib mushhaf Abu Bakar". (Rafi’y, Op. Cit.,hlm. 40)

Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit ra., bahwa ia berkata, “Kami menulis al-Quran di hadapan Nabi pada kulit ternak”. Maksudnya, karena pengertian menyusun adalah suatu ungkapan yang menyatakan tertib ayat sesuai dengan petunjuk Nabi saw., dan menurut perintah Allah swt., oleh karena itu, para ulama sepakat, bahwa pengumpulan al-Quran adalah tauqifi, artinya susunannya sebagaimana yang ada sekarang dalam mushhaf-mushhaf adalah sesuai dengan perintah dan wahyu dari Allah.(Shabuny, al-tibyan …, Op. Cit.,hlm. 66)
Pendapat itu didukung pula dengan sabda Nabi:

ضعوا هذا في السورة التي يذكر فيها كذا

Dari Hudzaifah diriwayatkan, “Bahwa Nabi saw., salat tahajud pada suatu malam, lalu beliau membaca do’a iftitah dan membaca bacaan sunnatnya surat al-Baqarah, Ali Imran, al-Nisa, dan al-Maidah dalam empat rakaat surat demi surat menurut urutan ini, yakni sebagaimana tertib urutan Zaid". (Rafi’y, Op. Cit.,hlm. 48-51)

Dalil tauqify ini dapat pula dihubungkan dengan firman Allah, dengan artinya yang lebih umum:
إن علينا جمعه وقرآنه فإذا قرأناه فاتبع قرآنه ثم إن علينا بيانه (القيامة: 17-
19)

“Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya.” (Q.S. al-Qiyamah: 17-19)
Dari ayat ini dapat disimpulkan, bahwa bacaan Nabi terhadap ayat-ayat al-Quran adalah mengikuti apa yang dibacakan oleh Allah kepada beliau. Dan, dengan demikian, susunan Zaid sendiri.
Menurut Husain Muhammad Makhluf, di antara adab membaca al-Quran ialah apabila membaca ayat-ayat al-Quran itu harus bersambung sebagian dengan bagian lain.153 Menurut Zaid ibn Tsabit, Nabi pernah bersabda “Allah sangat suka al-Quran itu dibaca sebagaimana Ia turunkan”.157
Selanjutnya menurut Makhluf, bacaan yang tidak bersambung berarti pemutusan terhadap apa yang Allah sambung. Bacaan demi-kian merupakan kerusakan pada segi yang penting, yakni segi-segi kegungan al-Quran dalam balaghah-nya. Balaghah-nya itu terletak pada keserasian susunannya dan kaitan ayat-ayat serta kata-katanya. Al-Quran sebagai kitab yang menjadi mukjizat karena lafazh-lafazh-nya yang fasih, makna-maknanya yang bernilai tinggi, dan justru itu kemukjizatannya berada pada tertib dan susunan ayat-ayatnya. Hal ini sesuai dengan pendapat al-Razy:
“Kebanyakan kehalusan atau keindahan al-Quran dibuang begitu saja, yakni dalam tertib susunan dan hubungan (antar ayat dan su-ratnya).158
Dengan pernyataan ini, secara tegas, al-Razy menganggap, bah-wa susunan ayat sealigus hubungan-hubunganya merupakan suatu hal yang harus diperhatikan.
Pada masa hidup Nabi saw., kebutuhan tentang tafsir al-Quran belum begitu dibutuhkan. Sebab, apabila shahabat tidak atau kurang memahami sesuatu ayat, mereka dapat langsug menanyakannya ke-pada Rasul. Dalam hal ini Rasul selalu memberikan jawaban yang memuaskan.

Setelah Rasulullah meninggal, dan Islam sudah meluas penye-barannya hingga keluar jazirah Arabia dan memasuki daerah-daerah yang berkebudayaan lama, maka terjadilah persinggungan antara aga-ma Islam dan kebudayaan tersebut. Persinggunan ini menimbulkan persoalan baru. Persoalan demikian dapat dipecahkan, jika al-Quran ditafsirkan dan diberi komentar sekedar menjawab persoalan-per-soalan tadi. Untuk itu, beberapa orang sahabat dan tabi’in tampil memberanikan diri menafsirkan ayat al-Quran yang bersifat umum dan global itu sesuai dengan batas-batas lapangan ijtihad.

Para shahabat adalah orang-orang yang paling mengerti dan me-mahami ayat-ayat al-Quran. Akan tetapi, mereka mempunyai tingkat-an yang berbeda dalam memahami al-Quran. Bagaimanapun, tingkat pengetahuan dan kecerdasan mereka satu sama lain berbeda, yang diantara faktor penyebabnya adalah:
1. Pengetahuan mereka tentang bahasa Arab berbeda-beda, seperti perbedaan pengetahuan mereka tentang sastra Arab, gaya bahasa Arab, adat istiadat, dan sastra Arab Jahiliyyah; kata-kata yang ter-dapat dalam al-Quran dan sebagainya, sehingga mereka dalam me-mahami ayat-ayat itupun berbeda-beda.
2. Ada sahabat yang sering mendampingi Rasul saw., sehingga me-reka banyak mengetahui sebab-sebab turun ayat al-Quran. Selain itu, ada pula sahabat yang jarang mendampingi Rasul saw., pada-hal pengetahuan tentang sebab-sebab turun ayat al-Quran sangat diperlukan untuk menafsirkannya. Sahabat yang banyak pengeta-huannya tentang sebab-sebab turun ayat akan lebih mampu menaf-sirkan ayat al-Quran jika dibandingkan dengan yang kurang atau tidak mengetahuinya.
3. Perbedaan tingkat pengetahuan mereka tentang yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani di tanah Arab pada waktu satu ayat diturunkan. Adapun sahabat-sahabat yang mengetahui-nya akan lebih memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan peris-tiwa tersebut.

Sumber-sumber utama yang dipakai para shahabat dalam me-nafsirkan al-Quran adalah hadits-hadits Nabi Muhammad saw., kare-na kalau mereka tidak mengerti tentang maksud suatu ayat yang ber-asal dari Rasulullah ini disebut tafsir ma’qul. Sejalan dengan itu, karena di antara mereka banyak yang mengetahui peristiwa dan situa-si pada waktu suatu ayat turun, maka riwayat mereka pun menjadi pembantu dalam memahami ayat tertentu.159 Meskipun demikian, ti-dak semua riwayat itu dapat diterima keabsahannya, bahkan dengan sendirinya tidak semua ayat mempunyai riwayat sebab nuzulnya. Me-nurut al-Zarkasyi: “Jika tidak ada riwayat sebab nuzul, maka yang lebih utama ialah mengemukakan wajah munasabah”.160
Dalam pernyataan di atas, berarti ada dua pokok dasar per-syaratan untuk mengetahui kisah ayat. Maksudnya, rangkaian isi ayat itu. Meskipun terjemah al-Quran dapat diketahui maknanya. Oleh se-bab itu, untuk memahami makna ayat, diperlukan pemikiran, sehing-ga terbina rangkaian antar kalimat atau antar ayat itu. Kemampuan demikian tergantung pada orangnya. Kedua, mengetahui riwayat se-bab turun ayat.
Artinya, sebagaimana disimak oleh ash-Shidieqy:
“Suatu sebab turun ayat atau beberapa ayat al-Quran, di mana ayat itu bisa mengandung peristiwa itu atau sebagai jawaban persoalan atau sebagai penjelasan hukum di kala terjadinya”.161
Akan tetapi, riwayat sebab nuzul berbeda dengan wajah muna-sabah. Kalau munasabah atau hubungan antar ayat diketahui dengan ijtihad, maka riwayat yang sebab nuzulnya diketahui dengan suma-’i,;dan riwayat yang ada, masih perlu diteliti.162
Menurut sejarah, orang yang merintis usaha ini, bahkan sebagai pencetus munasabah, adalah Syaikh al-Imam Abu Bakr Abdullah ibn Muhammad Ziyad al-Naisabury, seorang faqih Syafi’iy hafizh, me-nuntut ilmu di Irak, Syam, dan Mesir. Ia belajar kepada al-Muzny. Kemudian, ia tetap tinggal di Baghdad, dan menjadi imam ulama madzhab Syafi’iy di Irak, hingga wafat pada tahun 324 H.
Peran al-Naisabury dalam ilmu ini telah disimak oleh al-Syaikh Abu al-Hasan al-Syahrabany:
“Orang yang mula-mula memunculkan ilmu munasabah di Bagh-dad, sedang kita belum pernah mendengarnya dari yang lain ialah al-Syaikh al-Imam Abu Bakr al-Naisyabury. Ia seorang yang da-lam ilmunya mengenai hukum Islam dan sastra. Biasanya di atas kursi apabila dibacakan sebuah ayat al-Quran, ia berkata: ‘kenapa ayat ini diletakan di samping surat ini ? ia mengeritik para ulama Baghdad, karena mereka tidak tahu tentang al-Munasabah.”163
Diantara ulama yang mebukukan khusus mengenai munashabah ini ialah al-Ustadz Abu Ja’far Ahmad ibn Ibrahim ibn al-Jubair al-Andalusy al-Nahwy al-Hafizh dengan kitab al-Burhan fi Munasabah Tartib Suwar al-Quran.164 Al-Syaikh Burhan al-Din al-Biqa’i dengan kitab Nazhm al-Durar fi Tanashub al-Ayat wa al-Suwar, al-Syuyuthi dengan kitabnya al-Jami’li Munashabah al-Suwar wa al-Ayat dan Tanasuq al-Durar fi Tanasub al-Suwar.165 Demikian pula belakangan ini Ahmad Hasan Fahrat telah menulis kitab al-Munasabah bain al-Ayat wa Suwar.166
Sedangkan di antara kitab-kitab tafsir yang banyak mengung-kapkan tentang munasabah ini ialah: mafatih al-Ghaib karangan la-Razy,167 al-tafsir al-wadhih yang disusun oleh Muhammad Mahmud Hijazy, al-Manar karya Muhammad Rasyid Ridha, Shafwah al-Tafsir oleh Muhammad Ali al-Shabuny, al-Quran dan Tafsirnya serta al-Quran dan terjemahnya dari departemen agama republik Indonesia, tafsir al-Azhar karya Hamka, dan tafsir al-Nur oleh Hasbi Ash-Shi-dieqy.

Pendapat Para Mufassir Tentang Pengungkapan Munasabah
Sebagaimana dijelaskan di atas, ulama tafsir terbagi menjadi dua kelompok besar dalam menanggapi munasabah ini, yakni: (1) kelom-pok yang memperhatikan kepentingan munasabah dalam menafsirkan al-Quran; dan (2) kelompok yang menganggap munasabah ini tidak perlu diungkapkan. Pengelompokkan ini dapat dilihat dari segi meto-de tafsir yang selama ini diketahui, yang secara garis besar metode ini terdiri dari: metode bi al-Naql dan metode bi al-‘aql.
Tafsir bi al-naql ialah tafsir ayat-ayat al-Quran yang penjelasan-nya menggunakan ayat-ayat al-Quran sendiri, hadits-hadits Nabi, pen-dapat para shahabat Nabi, atau pendapat para Tabi’in. Dengan kata lain, tafsir bi al-Naql adalah tafsir dengan riwayat atau tafsir dengan al-atsar. Meskipun demikian, tidak berarti tanpa penalaran atau pe-mikiran sama sekali. Dalam tafsir demikian, sampai tingkat tertentu, penalaran dalam ijtihad masih tetap dipakai. Paling tidak, menghu-bungkan pengertian ayat yang satu dengan ayat yang lain, atau de-ngan hadits Nabi. Sebagai contoh, tafsir dari aliran ini ialah tafsir jami’ al-Bayan karya al-Thabary, tafsir al-Quran al-’Azhim karya Ibn Katsir, dan tafsir Mu’alim al-Tanzil karya al-Biqa’i serta tafsir al-Dur al-Mantsur karya al-Syuyuthy.
Menurut al-Ustadz Abd al-Azhim Ma’any dan Dr. Ahmad al-Ghundur, bahwa tafsir bi al-’aql dapat dikelompokkan ke dalam dua macam, yaitu: (1) tafsir bi al-ra’y al-Mahmud; dan (2) tafsir bi al-ra’y al-ma’zhum.168
Terlebih-lebih, jika menyimak definisi tafsir bi al-ra’y yang di-kemukakan oleh alZahaby:
“Yang dikehendaki dengan al-ra’y di sini ialah ijtihad, dan atas dasar itu maka tafsir bi al-ra’y ialah suatu cara menafsirkan al-Quran dengan ijtihad sesudah mufassir mengetahui bahasa pembi-caraan orang Arab dan segala seginya serta perkataan mereka, mengetahui lafazh-lafazh bahasa Arab dan semua segi yang ditun-jukannya, disamping mampu menemukan pengertiannya dengan sya’ir di zaman Jahiliyah, juga berpegang pada riwayat sebab-sebab turun ayat, mengetahui nasikh dan masyukh diantara ayat-ayat al-Quran, dan lain-lainnya berupa alat-alat yang diperlukan oleh mufassir tersebut.”169
Ternyata, definisi ini adalah tafsir dengan ijtihad, yang terlebih dahulu para mufassirnya telah dibekali pengetahuan Syari’at dan ba-hasa Arab yang memadai.
Al-Ma’any dan Ghundur menyebutkan:
“Tafsir bi al-Ra’y al-Mahmud ialah tafsir al-Quran dengan ijtihad setelah mufassir mengetahui apa yang dinukil dari Rasul dan Sha-habat-shahabat beliau; ia mengetahui ilmu-ilmu al-Quran; teliti de-ngan cara susunan bahasa Arab sebagaimana ia juga harus men-jauhi tafsir al-Quran yang lafazh-lafazhnya dibawa ke arah aliran-aliran yang salah dan merusak, serta tidak memaksakan dalam me-nyelami yang semata-mata diketahui oleh Allah; juga ia tidak me-nurutkan hawa nafsu dan kepentingan pribadinya.”170
Untuk mengetahui lapangan ijtihad dari ayat-ayat al-Quran, per-lu dipahami bahwa al-Quran mengandung ilmu-ilmu yang dapat dika-tegorikan ke dalam tiga macam, dalam hal ini:
1. Ilmu yang hanya diketahui oleh Allah semata-mata (seperti me-ngenai zat Allah). Dan hal ini, tidak seorang pun boleh mem-bacanya.
2. Ilmu yang diberikan oleh Allah semata-mata kepada Rasullullah saw., seperti ilmu mengenai fawatih alsuwar (الم يس, dan sebagai-nya). Dlam hal ini, tidak seorang pun boleh membahasnya, kecuali orang-orang yang mendapat izin dari Rasul saw.
3. Ilmu yang diakarkan Allah swt., kepada Rasul saw., berupa ajaran yang harus disampaikan kepada seluruh umat:
One. Ilmu yang tidak boleh dibicarakan, kecuali dengan jalan sima’y, atau riwayat, seperti: nasikh mansukh, qira’at, sejarah umat dahulu, riwayat sebab turun ayat, dan berita kehidupan sesudah mati.
Two. Ilmu yang diketahui dengan mengerahkan fikiran dan istidlal:
• Yang diperselisihkan ulama mengani boleh tidaknya dibica-rakan, seperti ayat-ayat mutasyabihat.
• Yang disepakati tentang kebolehan membahasnya, seperti ayat-ayat ahkam (hukum-hukum), mawa’izh (nasihat) amtsal (perumpamaan), dan hikam (ilmu pengetahuan dan rahasia alam semesta).
Apa yang disebut terakhir banyak sekali terdapat di dalam al-Quran dan istilah medan tafsir bi al-ra’y lebih leluasa berusaha meng-ungkapkannya dengan ijtihad tadi. Salah satu cara menafsirkan ayat al-Quran dengan ijtihad ialah dari segi bahasa: bagaimana hubungan antara ayat atau bagian ayat-ayat al-Quran tersebut? Usaha pemaham-an dengan cara itulah pengungkapan munasabah ayat.
Berdasarkan uraian di atas, maka demikian pula kelompok ula-ma dalam menilai pentingnya munasabah ayat itu diungkapkan. Seba-gaimana telah disinggung dalam mukadimah tesis ini, dalam menilai penting tidaknya mengungkapkannya munasabah ini, para ulama ter-bagi ke dalam dua golongan.
Golongan pertama berpendapat, bahwa pengungkapan munasa-bah itu sangat perlu. Dengan pengungkapan munasabah, ayat-ayat al-Quran dapat dipahami. Sebaliknya, golongan kedua tidak mempeduli-kan masalah tersebut.
Golongan yang memandang perlu pengungkapan munasabah ayat muncul pada abad IV Hijriah yang dipelopori oleh al-Imam Abu Bakar al-Naisyabury, Kwamudian, dilanjutkan oleh beberapa ahli taf-sir lainnya.
Al-Syuyuthy mengatakan, bahwa munasabah merupakan ilmu yang mulia. Sedikit sekali para mufassir yang menaruh perhatian pada ilmu tersbut. Hal ini sangat halusnya ilmu tersebut.171 Dalam kitab tafsirnya, al-Razy, berkata:
“Banyak bagian-bagian yang halus dari al-Quran dibiarkan hilang dalam susunan ayat dan hubungan-hubungannya”.172
Kalau perkataan al-Razy yang dikutip di atas dianalisis, maka ada dua macam hal yang sangat halus dan penting yakni: mengenai susunan ayat-ayat dan hubungan antar ayat itu sendiri. Menurut al-Razy, dengan kehalusannya itu, terdapat rahasia kedalam al-Quran dalam segi sastranya. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat me-ngetahuinya dan dapat menggalinya. Oleh karena itu, ia berpendapat, bahwa banyak mufassir yang mengabaikan masalah yang sangat pen-ting ini.
Ibn al-’Araby, dalam kitab Siraj al-Muridin, berkata:
“Hubungan ayat-ayat al-Quran satu sama lain seperti kata yang satu, tersusun rapi maknanya dan teratur bentuk kata-katanya dan merupakan suatu ilmu yang hebat; tidak dapat menemukannya, ke-cuali seorang alim yang telah menguraikan hubungan itu dalam surat al-Baqarah”.173
Beradasarkan pendapat ini, pengungkapan munasabah hanya di-temukan oleh ulama yang sudah membicarakan hubungan ayat-ayat itu dalam surat al-Baqarah. Karena surat al-Baqarah adalah surat yang terpanjang di dalam al-Quran, yang memuat pokok-pokok keseluruh-an ajaran al-Quran secara terurai.
Al-Syaikh Izz al-Din abd al-Salam berkata:
“Munasabah itu ilmu yang bagus, tetapi dalam keindahan hubung-an bahasa perkataan itu disyaratkan adanya pada masalah yang menyatu yang bagian awalnya berkaitan dengan akhirnya. Jika perkataan itu terjadi karena bebrapa faktor yang berlainan, maka hubungan kata itu tidak terdapat di dalamnya. Barang siapa meng-hubung-hubungkannya berarti ia termasuk orang yang memaksa-kan sesuatu yang sebenarnya ia tidak mampu menghubungkannya. Kalaupun ada, hanya hubungan yang janggal, suatu redaksi yang indah terpelihara dari kejanggalan tersebut, apalagi yang terindah (al-Quran). Al-Quran-turun dalam masa dua puluh tahun me-nyangkut hukum-hukum yang berbeda yang disyari’atkan karena faktor-faktor yang berlainan. Dan sesuatu perkataan yang kenya-taannya seperti itu, tidak mungkin terdapat hubungan antara yang satu dengan yang lain.174
Pernyataan Izz al-Din ibn ‘Abd al-Salam di atas ditolak oleh al-Syaikh Wali al-Din al-Malwy, bahwa pendapat seperti itu merupakan perkiraan yang lemah sekali. Orang yang berpendapat, bahwa tidak perlu dicari munasabah bagi ayat-ayat al-Quran, karena ayat-ayatnya turun menurut peristiwa yang terjadi dan berlainan. Secara paktual ayat-ayat itu menurut peristiwa yang terjadi dilihat dari segi turunnya, tetapi dari segi susunan dan dasarnya ia mengandung hikmah.175
Kenyataan ayat-ayat al-Quran itu memang demikian, contohnya, awal surat yang dikirimkan kepada Rasul saw., ialah al-’Alaq. Kelom-pok pertama dari ayat-ayatnya ialah awal surat itu sampai dengan علم الإنسان ما لم يعلم surat ini, Makiyah. Sisanya ayat-ayat turun ke-mudian, sesudah turun surat al-Muddatsir. Pada gilirannya dapat dina-lar hikmah tertibnya dengan surat kedua yang turun, yaitu surat al-Muddatsir, surat kedua dan surat ketiga (al-Qalam) turun di Makkah, kecuali firman allah إنا بلوناهم sampai يعلمون dan firman-Nya dari فاصبر لحكم ربك sampai الصالحين dan dengan surat yang keempat, al-Muzzammil, yang termasuk ke dalam surat Makkiyah, kecuali واصبر على ما يقولون sampai dengan ومهلهم قليلا. Jadi, masing-masing dalam suatu surat tidak selalu utuh seperti urutan turunnya. Masing-masing diselang oleh ayat-ayat lain, dan disusun sedemikian rupa untuk masa berikutnya. Memang Rasulullah sudah disiapkan oleh Allah untuk missi yang paling agung, karena unversalitas ajarannya, dan syari’at-nya merupakan media dakwah sepanjang masa.
Selanjutnya, al-Malwy menjelaskan, bahwa mushhaf al-Quran yang sudah tersusun seperti apa adanya sekarang sesuai dengan apa yang terdapat dalam allauh al-Mahfuzh. Ayat-ayat dan surat-suratnya tersusun secara tauqify sebagaimana ia diturunkan ke bait al-Izzah sekalipun. Dan al-Quran merupakan mukjizat yang nyata, karena uslubnya dan susunannya yang cemerlang. Sewajarnya pada tiap ayat sebelumnya. Atau ayat itu masing-masing berdiri sendiri; kemudian, dicari segi persesuaiannya dengan ayat di sampingnya. Pendahuluan ini merupakan ilmu yang luas. Demikian pula halnya hubungan antara surat-surat al-Quran.176
Al-Razy berkata mengenai surat al-Baqarah : Barang siapa me-renungkan bagian-bagian susunan surat ini dan keindahan tertibnya, ia pasti mengetahui bahwa al-Quran itu mukjizat lantaran kepasihan lafazh-lafazhnya dan ketinggian mutu makna-maknanya.177

Macam-macam Bentuk Munasabah
Sebagaimana diketahui, munasabah berarti hubungan makna an-tara bagian al-Quran yang satu dengan bagian al-Quran yang lain. Se-cara garis besar, munasabah ini terdiri dari dua macam, yakni :
1. Munasabah antar dalam al-Quran; dan
2. Munasabah antar ayat dalam surat-surat al-Quran
Munasabah antar surat maksudnya adalah hubungan makna inti dari suatu surat dengan surat sesudahnya atau sebelumnya. Terletak hubungan makna ini mencakup beberapa macam, dalam hal ini:
1. Munasabah antar surat. Biasanya, antara nama surat-surat dengan nama surat sesudahnya atau nama surat sebelumnya, terdapat hu-bungan arti. Sebagai contoh, urutan surat Muhammad atau al-Qital (47), al-Fath (48), dan al-Hujurat (49). Al-Qital artinya perang, al-Fath artinya kemenangan, dan al-Hujurat artinya kamar-kamar – dalam hubungan ini, pembagian tugas. Biasanya, sesudah perang terjadi kemenangan; dan setelah kemenangan disusul oleh tugas pembangunan yang memerlukan pembagian tugas.178
Contoh lain adalah hubungan antara surat al-Mukminun (23), al-Nur (24), dan al-Furqan (25). Pada hakikatnya, orang-orang yang beriman atau al-Mu’minun hidup dalam cahaya al-Nur yang mene-rangi lahir dan batinnya; dan karena adanya penerangan kehidupan lahir dan batin, orang-orang yang beriman memiliki kemampuan untuk membedakan atau al-Furqan antara yang hak dan yang batal. Contoh lainnya adalah urutan surat al-Jumu’ah (62), al-Munafiqun (63), dan al-Taghabun (64). Menurut hadits Nabi, orang-orang Is-lam yang meninggalkan shalat Jum’at tiga kali berturut-turut, tan-pa udzur Syar’i maka mereka masuk ke dalam daftar orang muna-fiq. Orang munafiq ialah orang-orang yang secara lahiriah Islam, tetapi secara bathiniah anti Islam. Isi jiwanya yang tersembunyi itu akan ditampakkan Tuhan pada hari kiamat atau al-Taghabun. Pada hari itu, diungkapkan segala kesalahan kehidupan yang ditempuh oleh orang-orang munafiq, dan akan dimasukan ke dalam neraka yang paling berat.
2. Hubungan antara awal surat dengan akhir surat. Artinya, isi awal surat berkaitan dengan apa yang disebutkan dalam akhir surat itu. Sebagai contoh, surat al-Baqarah dimulai dengan masalah kitab suci al-Quran sebagai pentunjuk bagi orang-orang yang beriman dan mereka beriman pula terhadap kitab-kitab suci terdahulu. Se-mentara pada bagian akhir, surat ini menyebutkan pula tentang keimanan Rasullullah beserta kaum mukmin terhadap kitab-kitab suci yang diturunkan kepada para Nabi.
Pada permulaan surat Ali Imran disebutkan bahwa Allah menu-runkan al-Quran kepada Nabi Muhammad saw., yang telah di-turunkan sebelumnya, dan Tuhan menurunkan kitab taurat dan Injil.181Begitu pula pada bagian penutup surat ini; Allah menye-butkan, bahwa sebagian ahl al-Kitab pun ada yang beriman kepada kitab suci yang diturunkan kepada Nabi saw.,182
Surat al-Nisa diawali dengan masalah penciptaan manusia dengan pasangannya, yang selanjutnya menimbulkan perkawinan, yang berujung pada keturunan.183 Bagian akhir surat ini membicarakan masalah kalalah,184 yang dihubungkan dengan masalah warisan. Bagaimanapun perkawinan dan keturunan berkaitan erat dengan masalah warisan.
3. Hubungan antara akhir surat dengan awal surat berikutnya, arti-nya, bagian akhir auatu surat berhubungan dengan bagian awal su-rat berikutnya. Sebagai contoh, bagian akhir surat al-Fatihah me-nerangkan tentang do’a orang-orang yang beriman, agar Tuhan melimpahan hidayah kepada mereka. Hidayah itu berupa jalan yang lurus yang pernah diberikan Tuhan kepada mereka. Hidayah itu berupa jalan yang lurus yang pernah diberikan kepada orang-orang yang baik (seperti: para rasul, nabi, dan orang shalih), bukan jalan orang-orang yang dimurkai Tuhan dan sesat. Pada awal surat berikutnya, yaitu surat al-Baqarah, Allah menjawab do’a itu. Allah memperkenankan do’a tersebut, dengan menyuguhkan “inilah ki-tab al-Quran yang tidak ada keraguan sama sekali apa yang ter-dapat di dalamnya dan ia sekaligus merupakan hidayah bagi orang yang bertaqwa yang memohon tadi”.185
Contoh lain ialah bagian akhir surat albaqarah yang menyebutkan do’a orang beriman, agar Tuhan tidak membebani mereka beban yang berat sebagai mana Dia membebankan syari’at-Nya kepada umat terdahulu agar Dia jangan mewajibkan tugas agama yang diluar kesanggupan mereka untuk memikulnya.186 Pada awal surat berikutnya, yaitu surat Ali Imran Allah menjelaskan, Dia telah me-nurunkan al-Quran dengan sebenarnya, dan membenarkan kitab yang pernah diturnkan sebelumnya, seperti taurat kepada manusia. Dan diantara kitab taurat, ada hukum yang berat, seperti taubat de-ngan bunuh diri dan menghilangan najis dengan membuang pa-kaian yang kena najis.188
Contoh berikutnya pada bagian akhir suat Ali Imran, Allah meme-rintah kepada orang-orang beriman agar bertaqwa kepada Nabi-Nya supaya mereka beruntung.189 Pada bagian awal surat beriktu-nya, yakni surat al-Nisa, Allah memerintahkan pula agar seluruh manusia bertaqwa kepadanya. Berkenaan dengan hal ini, Allah menjelaskan, karena Dialah yang menciptakan mereka dan ketu-runan mereka.190
4. Hubungan kandungan surat secara umum dengan surat berikutnya. Sebagai contoh, kesesuaian antara surat al-Fatihah dan surat al-Baqarah. Surat al-Fatihah meliputi pokok-pokok ajaran, sedangkan perinciannya terdapat dalam surat al-Baqarah (dan surat-surat se-sudahnya).191
Contoh lainnya adalah persesuaian antara isi surat al-Baqarah dan isi surat Ali Imran. Kedua-duanya dimulai dengan alif lam mim. Dalam surat al-Baqarah disebutkan tentang nabi Adam as., yang langsung diciptakan Tuhan; sedangkan dalam surat Ali Im-ran, disebutkan tentang kehadiran Nabi Isa as., keduanya dija-dikan Allah menyimpang dari kebiasaan. Dalam surat al-Baqa-rah, sifat dan perbuatan orang-orang Yahudi dibentangkan seca-ra luas disertai hujjah untuk mematahkan hujjah yang membela kesesatan mereka; sedangkan dalam surat Ali Imran, dibentang-kan hal-hal yang serupa yang berhubungan dengan orang Nasra-ni. Kedua kelompok ini sama-sama keturunan bani Israil. Surat al-Baqarah dimulai dengan menyebutkan tiga golongan manusia, yaitu: orang-orang mu’min, orang-orang kafir dan orang-orang munafiq. Surat Ali Imran dimulai dengan menyebutkan orang-orang yang suka menta’wilkan ayat yang mutasyabihat dengan ta’wil yang salah untuk memfitnah orang mukmin, dan menye-butkan tentang orang yang mempunyai keahlian dalam menta-’wilkannya. Surat al-Baqarah diakhiri dengan permohonan kepa-da Allah, agar diampuni kesalahan-kesalahan dan kealpaan da-lam melaksanakan taat. Di lain pihak, surat Ali Imran disudahi dengan permohonan kepada Allah, agar Dia dapat memberikan pahala atas amal kebaikan hamba-Nya. Surat al-Baqarah dimulai dengan menyebut sifat-sifat orang yang bertaqwa, sedangkan surat Ali Imran dimulai dengan perintah bertaqwa.192
Contoh lain adalah persesuaian antara surat Ibrahim dan Surat al-Hijr. Kedua surat ini dimulai dengan alif lam ra dan me-nerangkan sifat al-Quran. Dalam surat Ibrahim, Allah menjelas-kan bahwa al-Quran itu pembimbing manusia ke jalan Allah. Dalam surat al-Hijr, Allah menambahkan bahwa al-Quran itu ak-an tetap dijaga kemurniannya sepanjang masa. Masing-masing surat ini melukiskan keadaan langit dan bumi, dan sama-sama menjelaskan, bahwa kejadian-kejadian alam ini mengandung hikmah sebagai tanda keesaan dan kebesaran Allah. Kedua surat ini mengungkap kisah Nabi Ibrahim as., dengan terperinci. Ke-duanya sama-sama menerangkan keadaan orang-orang kafir di hari kiamat, dan penyesalan mereka; mengapa mereka sewaktu hidup di dunia tidak menjadi orang mukmin, kedua surat ini sa-ma-sama menceritakan kisah Nabi-nabi zaman dahulu dengan kaumnya serta menerangkan keadaan orng-orang ingkar kepada nabi-nabi itu pada hari kiamat.
Kisah-kisah itu disampaikan kepada Nabi Muhammad saw., un-tuk menghibur hati beliau di waktu menghadapi pelbagai kesu-litan yang beliau temukan dalam menyiarkan agama Islam.193
Contoh berikutnya ialah munasabah antara surat Fushilat dan su-rat al-Syura. Kedua surat itu sama-sama mengutarakan kebenar-an al-Quran, menolak kecaman dan celan orang-orang kafir Mekkah terhadapnya, bujukan terhadap Nabi Muhammad saw., untuk tidak bersedih hati dan berputus asa lantaran kecaman dan celaan itu sudah sewajarnya datang dari musuh-musuh agama dan hal itu telah dialami oleh Rasul-rasul sebelumnya.194
Adapun hubungan antar ayat ialah hubungan makna antara ayat-ayat yang berdekatan atau antara bagian-bagian dalam satu ayat. Di-lihat dari segi letaknya, hubungan makna antar ayat terbagi ke dalam dua hal yaitu:
1. Hubungan makna suatu ayat dengan ayat sebelumnya atau sesu-dahnya. Hubungan seperti ini, misalnya, antara بسم الله الرحمن الرحيم dengan الحمد لله رب العالمين. Ayat pertama berisi pengakuan, bahwa Allah itu ada dan perbuatan yang dilakukan seseorang ber-hasil atau tidaknya tergantung kepadanya. Menurut ikrar tersebut, Allah itu adalah Tuhan yang Rahman dan Rahim dan bersifat Pe-ngasih Penyayang. Bukti kasih sayang-Nya ialah banyak nikmat yang telah dirasakan oleh setiap orang, sekalipun orang itu orang kafir, durhaka, bahkan orang yang tidak pernah memohon ke-pada-Nya. Demikian pula nikmat yang dirasakan oleh orang-orang yang beriman, jumlahnya tidak terhitung. Dengan karunia yang sangat banyak ini, maka pantslah Dia dipuja dengan الحمد لله رب العالمين
2. Hubungan antara makna bagian suatu ayat dengan bagian lain dari ayat tersebut. Sebagai contoh, hubungan antara الحمد لله dengan رب العالمين. Pujian ini hanya milik Allah Yang Rahman dan Rahim. Dengan bagian kata berikutnya, yaitu Rabb al-’Alamin, ternyata objek yang diberi kasih sayang itu tidak terbatas kepada manusia saja, tetapi ia sebagai Tuhan pemelihara alam semesta, baik dari jenis manusia, binatang ataupun tumbuh-tumbuhan dan sebagai-nya.
Selain itu ada lagi macam munasabah yang perlu dijadikan landasan pembahasan dalam tulisan ini, yaitu:
1) Munasabah antara suatu kelompok ayat-ayat dengan sekelompok ayat-ayat berikutnya. Biasanya kesimpulan isi pengertian kelom-pok ayat itu diungkapkan hubungannya dengan inti pengertian kelompok ayat di samping. Sebagai contoh kitab tafsir yang sangat menaruh perhatian dalam masalah ini antara lain al-Tafsir al-Wadhih karya muhamad Mahmud Hijazi, dan Tafsir al-Maraghi karya Musthafa al-Maraghi. Dalam hal ini, Hijazy memberi judul pada setiap kelompok ayat, sedangkan al-Maraghi tidak memberi-kannya. Pada dasarnya, Hijazi berusaha mengungkapkan munasa-bah seperti ini yang memakai istilah munashabah. Apalagi muna-sabah itu tidak tercantum secara khusus sebagai di atas, maka Hi-jazy mengemuakannya secara sepintas pada bagian al-ma’any. Te-tapi al-Maraghi mengemukakan munasabah tersebut pada bagian al-ma’na al-Jumaly. Sebagai contoh dari al-tafsir al-Wadhih, fir-man Allah:
الذين يؤمنون بالغيب ويقيمون الصلاة ومما رزقناهم ينفقون والذين يؤمنون بما أنزل إليك وما أنزل من قبلك وبالآخرة هم يوقنون أولئك على هدى من ربهم وأولئك هم المفلحون
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah ditu-runkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung. (al-Baqarah: 3-5)195
Hijazy memberi judul kelompok ayat-ayat ini dengan al-Muttaqin wa Jazauhum, sedangkan kelompok berikutnya ‘al-kafirun wa jaza-uhum’.
إن الذين كفروا سواء عليهم أأنذرتهم أم لم تنذرهم لا يؤمنون ختم الله على قلوبهم وعلى سمعهم وعلى أبصارهم غشاوة ولهم عذاب عظيم
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.196
Munasabahnya ia sebutkan:
“Munasabahnya, Allah memulai surat ini dengan pembicaraan ten-tang al-Quran al-Karim, dan sikap manusia terhadapnya. Ia menye-butkan bahwa manusia itu terbagi kepada tiga macam. Di antara mereka ialah orang yang beriman kepada-Nya dan mengerjakan amal saleh, dan mereka itulah yang mendapatkan keberuntungan. Kelompok kedua ialah orang yang kafir dan sombong terhadap kebenaran, baik dalam ucapan, atau tindakan; dan mereka itulah penghuni neraka, kekal mereka di dalamnya”.197
2. Munasabah khusus untuk tiap surat yang dimulai dengan Fawatih al-Suwar, seperti al-Baqarah dan Alif lam mim, surat Maryam de-ngan kaf ha ya ain shad dan sebagainya. Menurut Abd al-Qadir Ahmad ‘atha dalam muqadimah kitab al-Asrar Tartib al-Quran bahwa tidak mungkin tanpa hikmah rahasia atau hubungan antar huruf-huruf potong itu dengan kandungan suratnya masing-ma-sing.
“Maka huruf ini dominan dan banyak terdapat dalam suratnya. Contoh demikian adalah surat Qaf dan Yunus. Dalam dua surat ini banyak disebut berulang-ulang kata-kata yang mengandung huruf qaf dan ra’. Pengurangan kandungan berkisar sekitar antara 50 kali sampai 200 kali sesuai dengan panjangnya surat. Begitu pula dalam surat-surat sepertinya.”198
Berdasarkan uraian di atas, maka macam-macam munasabah itu dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Munasabah antara nama surat. Hal ini telah dikemukakan oleh al-Biqa’i,199 al-Syuyuthi,200 dan al-Maraghi201
2) Munasabah antar awal surat dengan akhirnya, seperti yang di-sebutkan oleh al-Biqa’i,202 al-Syuyuthi, 203dan Abd al-Qadir Ah-mad ‘Atha.204
3) Munasabah antar akhir suatu surat dengan awal surat berikutnya. Seperti yang dikemukakan oleh al-Biqa’i,205 al-Syuyuthi,206 dan ‘Atha.207
4) Munasabah antar surat yang berdampingan, munasabah seperti te-lah disebutkan oleh al-Biqa’i,208 Darraz,209 dan al-Syuyuthy210.
5) Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan. Munasabah ini disebutkan oleh al-Biqa’i,211 Darraz,212 al-Syuyuthi.213
Bentuk ta’kid ialah apabila salah satu ayat atau bagian ayat memperkuat makna ayat atau bagian ayat yang terletak disampingnya. Misalnya, al-Hamd li Allah Rabb al-’Alamin diperkuat maknanya oleh ayat berikutnya, al-rahman al-rahim.
Sebagai Tuhan pemelihara alam semesta, Dia Maha Pengasih dan Maha Penyayang, ayat:
وأنكحوا الأيامى منكم والصالحين من عبادكم وإمائكم إن يكونوا فقراء يغنهم الله من فضله والله واسع عليم
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba saha-yamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan ku-rnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Me-ngetahui. (alNur: 32)214
Dalam ayat ini, janji Allah untuk orang-orang yang pantas me-nikah dan dalam keadaan miskin. Bagi mereka, dengan karuniaNya akan dicukupkan. Tampaknya, kemiskinan seseorang sebelum meni-kah akan lebih akut, jika ia menikah. Karena, dengan menikah itu, be-bannya semakin bertambah. Akan tetapi, secara logika, ketidak mam-puan itu barangkali dapat diatasi dengan tenaga tambahan dari isteri-nya. Nilai isterinya mungkin lebih banyak menguntungkan dari tena-ga dan pikirannya, jika dibandingkan dengan biaya tambahan si isteri yang dibayangkan sebelumnya. Oleh karena itu, Allah memperkuat pengertian mamampukan di atas dengan wa Allah wasi’ ‘alim, artinya Allah Maha luas Pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. Bagian ayat ini merupakan ayat aqidah yang memantapkan pengertian bagian ayat sebelumnya.
Bentuk tafsir dalam pengertian munasabah ialah bahwa ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan maknanya oleh ayat atau bagian ayat yang ada disampingnya. Karena munasabah dari segi ini bagian-bagiannya harus bersambung--kadang-kadang ayat atau bagian ayat yang menafsirkannya terletak jauh di ayat lain, bahkan di surat lain. Contohnya munasabah termaksud, firman Allah:
ذلك الكتاب لا ريب فيه هدى للمتقين الذين يؤمنون بالغيب ويقيمون الصلاة ومما رزقناهم ينفقون والذين يؤمنون بما أنزل إليك وما أنزل من قبلك وبالآخرة هم يوقنون أولئك على هدى من ربهم وأولئك هم المفلحون
“Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang ber-iman kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung. (Al-Baqarah 2-5)215
Ayat 3 samapai dengan ayat 5 di atas menafsirkan arti muttaqin yang terdapat dalam ayat 2. Dengan pengungkapan sifat-sifat orang yang bertaqwa, maka maksud pengertian yang sebenarnya dari kon-sep taqwa menjadi jelas.
Contoh lain ialah penjelasan Allah mengenai ulu al-Albab is-tilah ini terdapat dalam surat ali Imran ayat 190. Kemudian, pada ayat berikutnya, Allah mengungkapkan makna istilah tersebut dengan fir-man-Nya:
الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون في خلق السماوات والأرض ربنا ما خلقت هذا باطلا سبحانك فقنا عذاب النار
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan ten-tang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Q.S. Ali Imran: 191)216
Dengan ayat ini, pengertian ulu albab menjadi jelas. Sifat-sifat utama ulu Albab diungkapkan seperti: berdzikir, berfikir, mengakui kekuasaan Tuhan, dan selalu meminta perlindungan kepada-Nya.
Dalam surat Ali Imran 110, Allah berfirman:
كنتم خير أمة أخرجت للناس
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia”.217
Dengan demikian, maksud sebaik-baik umat ialah umat yang beriman kepada Allah, bersikap baik secara vertikal dan melak-sanakan amar ma’ruf nahy munkar, bersikap baik secara horizontal; memperbaiki keadaan masyarakat, bentuk I’tiradh dalam munasabah ayat ialah:
“Meletakan satu kalimat atau lebih yang tidak ada kedudukannya dalam I’rab, dipertengahan kalimat atau antara dua kalimat yang berhubungan maknanya. Untuk seseorang yang baligh pada kata-kata selingan tersebut mesti ada maksud tertentu, selain menghi-langkan kesamaran arti”.218
Dalam al-Quran I’tiradh demikian banyak terdapat, misalnya firman Allah:
فسبحان الله حين تمسون وحين تصبحون وله الحمد في السماوات والأرض وعشيا وحين تظهرون
“Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di petang hari dan waktu kamu berada di waktu subuh, dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan di bumi dan di waktu kamu berada pada petang hari dan di waktu kamu berada di waktu Zuhur. (al-Rum: 17-18)219
Pada ayat ke 17, menurut tafsir Ibn Abbas,220 bahwa bertasybih itu ialah salat lima waktu. Waktu sore (salat maghrib dan isya), waktu subuh (shalat subuh), waktu petang (shalat ashar), dan waktu zhuhur (shalat zhuhur). Diantara isyart waktu-waktu shalat itu terdapat I’tiradh وله الحمد في السموات والأرض, artinya: “Dan bagi-Nyalah puji di langit dan di bumi”, secara harfiyah, bagian ini tidak ada hubungan dengan masalah waktu shalat wajib. Akan tetapi, sekalipun demikian Allah letakan juga bagian ayat tersebut disitu. Maksudnya ialah seka-lipun sesudah shalat subuh, manusia dan makhluk lainnya sibuk de-ngan kegiatan hidupnya, maka dengan I’tiradh itu manusia tetap diperingatkan untuk selalu memuja Tuhan atas segala karunia-Nya yang sangat banyak. Dengan kata lain, manusia sebagaimana makhluk lainnya yang ada di langit dan di bumi harus ingat dengan aturan-aturan yang telah ditentukan Tuhan.
Contoh lain ialah firman Allah:
ويجعلون لله البنات سبحانه ولهم ما يشتهون
“Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Ma-ha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki).” (Q.S. al-Nahl: 57).221
Pada pertengahan ayat ini, yang menerangkan sikap orang-orang musyrik menganggap Allah mempunyai anak-anak perempuan dan mereka menyukai anak laki-laki, terdapat kata subhanallah; maha suci Allah dari apa yang mereka tetapkan itu. Kelihatannya, bagian ayat tersebut tidak ada kaitannya dengan sikap mereka tadi. Akan te-tapi, I’tiradh – sekalipun sebagai selingan – menjelaskan tentang bantahan terhadap anggapan yang salah itu.
Bentuk tasydid dalam munasabah ayat ialah suatu ayat atau bagian ayat yang memperkuat arti yang terletak di sampingnya. Con-toh untuk tasydid ialah firman Allah:
إن الذين كفروا سواء عليهم أأنذرتهم أم لم تنذرهم لا يؤمنون
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. (al-Baqarah: 6)222
Sebenarnya, makna ayat ini sudah jelas dan tegas, bahwa orang-orang yang tidak mendapatkan hidayah itu tetap saja kafir, apapun usaha yang ditempuh untuk mengajaknya ke jalan yang benar. Akan tetapi, ayat berikutnya lebih mempertegas pengertian ayat tersebut:
ختم الله على قلوبهم وعلى سمعهم وعلى أبصارهم غشاوة ولهم عذاب عظيم
“Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat be-rat.” (Q.S. 2:7)223
Ayat terdahulu menjelaskan tentang kekafiran mereka yang aba-di, sedangkan ayat berikutnya menerangkan tentang hati, pendengar-an, dan penglihatan mereka yang telah terkunci mati. Dengan demi-kian, ayat yang disebutkan terakhir merupakan tasydid (penguat) bagi ayat sebelumnya.
Contoh lain adalah firman Allah:
صراط الذين أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضالين
“Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Q.S. 1: 7)224
Bagian pertama ayat ini merupakan penjelasan ayat sebelumnya yang menerangkan do’a orang-orang yang beriman, agar diberikan shirath al-mustaqim oleh Allah. Shirath tersebut adalah shirat al-lad-zina an’amta ‘alaihim. Bagian yang disebut terakhir adalah tasyadud dari bagian yang sebelumnya.
Adapun munasabah yang tidak jelas terbagi ke dalam dua ma-cam yakni: (1) munasabah ayat yang memakai athaf; dan (2) muna-sabah ayat yang tidak memakai athaf. Maksud memakai athaf disini ialah hubungan antar kalimat tanpa huruf athaf atau hubungan lang-sung, sedangkan hubungan antar kalimat tanpa huruh athaf disebut hubungan tidak langsung. Masing-masing bentuk hubungan di atas memiliki ikatan yang merupakan segi konvergensif antar kalimat atau ayat yang dimaksud. Ikatan makna itu terdiri dari empat macam, ya-itu: al-tanzhir, al-mudhaddah, al-istithrad, dan al-takhallus.
Akan tetapi, menurut al-Syuyuthi, munasabah dalam bentuk hubungan langsung ikatannya tadhadd, seperti ‘apa yang masuk ke dalam bumi’ dan ‘apa yang keluar dari padanya’, atau syibh al-tadhadd (menyerupai). Seperti menyebutkan antara ‘langit dan Bumi’, atau al-kalam fith al-tadhadd (kalimat mengandung mak-na), seperti ayat yang biasa menyebutkan ‘rahmat’ sesudah menyebutkan ‘adzab’ ayat yang menyebutkan raghbah atau anjuran sesudah me-nyebutkan ‘rahbah’ atau ancaman.225
Munasabah dalam bentuk langsung ini adakalanya di antara ba-gian makna, mengandung satu segi yang menyatukan,226 sehingga ke-duanya serupa atau bersekutu dalam fungsinya, sekalipun tidak sama. Contoh firman Allah:
يعلم ما يلج في الأرض وما يخرج منها وما ينزل من السماء وما يعرج فيها وهو الرحيم الغفور
“Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke lu-ar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke-padanya. Dan Dia-lah Yang Maha Penyayang lagi Maha Peng-ampun. (Saba: 2)227
Dalam ayat ini, terdapat bandingan dan kesatuan. Walaupun nampaknya apa yang termasuk ke dalam bumi itu tidak sama dengan apa yang keluar dari bumi, namun hubungan langsung di sini kembali kepada segi persyerikatannya, yakni semuanya diketahui oleh Allah. Demikian pula hubungan sesuatu yang turun dari langit dan sesuatu yang naik kepadanya, sekalipun tidak sama, tetapi serupa juga dalam segi lain, yakni semuanya diketahui oleh Allah.
Munasabah dalam bentuk tidak langsung atau tidak memakai athaf, menurut al-Syuyuthi, hubungan antar ayat-ayat atau bagian-bagian ayat mesti ada sandarannya yang mengisyaratkan hubungan kalimat, yakni: qarinah ma’nawiyyah yang menunjukan adanya ikat-an itu. Untuk itu, terdapat beberapa faktor:
1. al-tanzhir, artinya: bandingan. Maksudnya, munasabah ayat itu merupakan pertemuan dua yang serupa tentang kebiasaan orang-orang berakal.228 Contohnya firman Allah:
كما أخرجك ربك من بيتك بالحق وإن فريقا من المؤمنين لكارهون
“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya,” (al-Anfal: 5)231
Ayat yang terletak sesudah ayat-ayat awal surat al-Baqarah yang menerangan tentang al-Quran al-Karim dan mengenai orang-orang beriman dan bertaqwa serta keuntungan sifat-sifat mereka. Oleh karena itu, hubungan antara ayat-ayat tersebut dengan sifat-sifat orang kafir erat pengertiannya pada segi lawan makna, bahkan dengan menyebutkan perbedaan masing-masing, perbedaan kedua-nya menjadi jelas sehingga tampak pula arti masing-masing kelom-pok manusia itu.
3. Al-Istithrad, artinya pemindahan dari perkataan yang satu ke per-kataan yang lain. Al-Hatimy (w. 388 H) menyebutkan, bahwa ia menukil istilah ini dari al-Buthury – seorang penyair – pencipta is-tilah ini ialah Ibn al-Mu’tazz, dengan arti ‘keluar dari makna yang satu ke makna yang lain’.232 Dalam kitab I’jaz al-Quran, karangan al-Baqilany, disebutkan:
“Istihrad ialah kalau pembicaraan sedang menyatakan suatu makna, dan setelah dari menyatakan ia mengambil makna lain, dan makna bagian pertama tadi menjadi penyebab-nya.”233
Selanjutnya Ibn Abi al-Ishba’ al-Mishry (w. 654 H.) menyebutkan, bahwa istithrad ini jarang terdapat dalam al-Quran. Istithrad ba-nyak terdapat dalam natsr atau prosa yang berbahasa Arab. Pada umumnya, istithrad ini terdapat pada sya’ir-sya’ir yang berisi eje-kan (sastire), dan jarang terlihat pada lazimnya.234 Sebagai contoh:
ألا بعدا لمدين كما بعدت ثمود
“Ingatlah, kebinasaanlah bagi penduduk Madyan sebagaimana kaum Tsamud telah binasa. "(Q.S. Hud: 95)235
Dalam ayat ini, terdapat dua bagian makna; yang pertama ten-tang kebinasaan penduduk Madyan. Dan yang kedua tentang kebi-nasaan Tsamud, umat nabi Shalih. Keduanya mempunyai tempat dan waktu yang berbeda tetapi munasabah yang terdapat di da-lamnya ialah kebinasaan mereka diakibatkan oleh kedurhakaan mereka terhadap ajaran Tuhan yang dibawa oleh Nabi masing-ma-sing. Istithdrad di sini ialah keluarnya pembicaraan ayat-ayat se-belumnya tentang nabi Syu’aib as. Kepada pembicaraan umat Shalih as. Contoh lain ialah firman Allah:
يا بني آدم قد أنزلنا عليكم لباسا يواري سوءاتكم وريشا ولباس التقوى ذلك خير ذلك من آيات الله لعلهم يذكرون
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada-mu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk per-hiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demi-kian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mu-dah-mudahan mereka selalu ingat”. (Q.S. alA’raf 26)236
Al-Zamakhsyary mengatakan, bahwa ayat ini turun menurut cara istithdrad. Setelah Tuhan menyebutkan ‘nampak auratnya dan me-nutupkan daun atasnya’, menunjukan karunia pada ciptaan-Nya be-rupa pakaian; dan penjelasan bahwa telanjang dan terbuka aurat itu merupakan kehinaan dan aib serta menumbuhkan perasaan bahwa menutup aurat itu suatu pintu besar di antara pintu-pintu taqwa.237
Menurut al-Qadhy Abu Bakr al-Baiquny, ayat dibawah ini ter-masuk istithdrad:238
أو لم يروا إلى ما خلق الله من شيء يتفيأ ظلاله عن اليمين والشمآئل سجدا لله وهم داخرون ولله يسجد ما في السماوات وما في الأرض من دآبة والملآئكة وهم لا يستكبرون
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan segala sesuatu yang te-lah diciptakan Allah yang bayangannya berbolak-balik ke kanan dan ke kiri dalam keadaan sujud kepada Allah, sedang mereka berendah diri? Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi dan (juga) para malaikat, sedang mereka (malaikat) tidak me-nyombongkan diri.” (al-Nahl 48-49)239
Menurut al-Baqilany bahwa seakan-akan yang dikehendaki di sini ialah pembicaraan pertama, yakni memperhatikan ciptaan Allah. Kemudian perpindahan kepada pembicaraan tentang segala sesuatu bersujud kepada Allah azza wa jalla. Perpindahan pembicaraan ter-sebut jelas. Akan tetapi di balik itu antara dua makna, terdapat munasabah. Dalam hubungan ini, orang-orang yang sujud itu ber-mula dari pandangannya mengenai alam ini, yang membukakan keimanan dan pengabdian.
4. al-Takhalush, artinya perpindahan. Dalam hal ini, perpindahan dari suatu permulaan pembicaraan kepada yang dimaksud, menurut cara yang mudah, isyarat, dengan kehalusan makna, sehingga tidak mu-dah disadari oleh pendengar mengenai perpindahan dari makna per-tama, kecuali jika kemungkinan yang kedua sudah benar-benar ter-jadi, karena hubungan keduanya sangat erat.240 Sebagian ulama me-ngatakan bahwa perbedaan antara isthithdrad dan al-takhalush meliputi: al-Takhalush ialah anda tinggalkan apa yang sekarang an-da hadapi, menghadapi apa yang anda tuju ke arahnya, sedangkan istithdrad adalah anda berlalu dengan menyebut perkara yang anda tuju, berlalu kencang seperti kilat yang menyambar kemudian anda tinggalkan dan kembali kepada keadaan sekarang; seakan-akan anda tidak mengehendakinya dan hanya mengemukakan beberapa sifat-nya saja.241 Sebagai contoh firman Allah dalam surat al-‘Araf. Se-telah Allah menceritakan tentang umat yang dahulu, tentang Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shalih, Nabi Luth, nabi Syu’aib as. secara panjang lebar, bahkan diakhiri dengan do’a:
واكتب لنا في هذه الدنيا حسنة وفي الآخرة إنا هدنا إليك قال عذابي أصيب به من أشاء ورحمتي وسعت كل شيء فسأكتبها للذين يتقون ويؤتون الزكاة والذين هم بآياتنا يؤمنون الذين يتبعون الرسول النبي الأمي الذي يجدونه مكتوبا عندهم في التوراة والإنجيل يأمرهم بالمعروف وينهاهم عن المنكر ويحل لهم الطيبات ويحرم عليهم الخبآئث ويضع عنهم إصرهم والأغلال التي كانت عليهم فالذين آمنوا به وعزروه ونصروه واتبعوا النور الذي أنزل معه أولئك هم المفلحون
“Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di ak-hirat; sesungguhnya kami kembali (bertobat) kepada Engkau. Allah berfirman: "Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ay-at Kami". (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang umi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mung-kar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan meng-haramkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari me-reka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, me-nolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang berun-tung. (alA’raf 156-157)242
Dari ayat-ayat surat ini, nampak takhlaush atau perpindahan-per-pindahan pembicaraan sampai ke ujungnya; dari cerita Nabi ke nabi, sampai ke Nabi Musa dan do’anya berpindah lagi kepada pernyataan Tuhan tentang siapa yang akan mendapat azab atau rahmatNya; kemudian, berpindah kepada keistimewaan-keistime-waan Nabi Muhammad saw., walaupun ungkapan ayat itu menge-nai cerita dari masa ke masa yang tentunya berlainan tempat, masa, dan orang yang berperan di dalamnya, namun semuanya itu meru-pakan rangkaian sejarah keagamaan yang tidak dapat terpisahkan yang harus dijadikan pelajaran untuk seluruh umat manusia.

By: Sanawi